Asal-usul
karate berasal dari kempo alias seni beladiri tinju Cina (China Boxing)
diciptakan oleh Darma, Guru Budha yang Agung, manakala tengah
bermeditasi di Biara Shorinji, Mt-Sung, Provinsi Henan, Cina (generasi Darma selanjutnya menyebut beladiri ini dengan nama Shorinji Kempo) yang berakar di Okinawa
melalui kontaknya dengan Cina pada medio abad ke-14. Pada abad itu,
pengadilan Bakhuco (di bawah penguasa setempat) di Okinawa membuat
larangan penggunaan senjata. Itulah sebabnya embrio beladiri karate
muncul. Dalam budaya (bahasa) Cina, kempo berasal dari kata kara yang
berarti Cina dan te yang berarti tangan. Di Jepang, pada proses
perkembangannya kemudian, KARA Berarti kosong dan TE berarti tangan.
Jadi
hakikatnya, seni beladiri karate merupakan suatu bentuk beladiri yang
mengandalkan tangan kosong. Lahirnya karate sebagai seni beladiri
diketahui pada abad ke-19. Adalah Matsumara Shukon (1797-1896) seorang
prajurit samurai dan pelindung Raja Soko Okinawa yang berjasa melahirkan
seni beladiri karate. Ia menciptakannya dengan menggabungkan unsur seni
militer Jepang (bushido). Matsumara adalah pendukung adanya dua
kebijakan : latihan militer (fisik) dan kesarjanaan (intelektualitas).
Dialah anggota kelas berkuasa di Pulau Ryuku yang berjasa meletakkan
pondasi dasar dan pengembangan ilmu karate.
Gichin
Funakoshi, penemu shotokan, mengemukakan suatu filosofi bahwa karate
yang sesungguhnya adalah dalam kehidupan sehari-hari, pikiran dan tubuh
seseorang dilatih dan dikembangkan dalam kerendahan hati. Dan, pada
saat-saat kritis, ia akan mengabdi seluruhnya pada keadilan. Pemahaman
terhadap karate digambarkan pula sebagai seni perang atau metode
beladiri yang meliputi bermacam-macam teknik, termasuk bertahan,
menyerang, mengelak, bahkan merobohkan. Latihan karate dapat dibagi
menjadi tiga aspek : kihon (dasar), kata (bentuk), kumite (lakuan). KATA
karate merupakan kombinasi dari dua karakter (Kata) Jepang: KARA
berarti kosong dan TE yang berarti tangan. Maka karate dapat diartikan
dengan tangan kosong. Ditambah sufiks (akhiran) do (baca : doe), berarti
cara. Jadi, karate-do menerapkan karate sebagai cara hidup yang lebih
dari sekedar mempertahankan diri. Dalam karate-do tradisional, kita
selalu diingatkan : musuh utama adalah diri kita sendiri. Funakoshi
mengatakan, Pikiran dan teknik menjadi satu dalam karate. Kita berusaha
membuat teknik fisik kita sebagai ekspresi dari apa yang diinginkan
pikiran kita, pun meningkatkan pemusatan pikiran kita dengan memahami
inti dari teknik fisik. Dengan menyempurnakan gerakan karate, kita juga
menyempurnakan jiwa dan mental. Sebagai contoh, meniadakan gerakan dalam
gerakan karate yang lemah dan ragu-ragu dapat membantu menghilangkan
kelemahan dan keragu-raguan berpikir, begitu pula sebaliknya. Dengan
makna itu, karate menjadi suatu cara hidup, dimana kita mencoba untuk
menjadi orang yang kuat, tapi bahagia dan penuh kedamaian. Seperti yang
dimaksud Tsutomu Ohshima, Kepala Instruktur (Shihan) Shotokan Karate
America (SKA), Kita harus cukup kuat mengekspresikan pikiran kita
terhadap lawan, kapan saja, dimana saja. Tapi, kita harus tenang
mengekspresikan diri kita secara rendah hati. Ada
salah satu bentuk latihan karate yang unik dalam SKA. Latihan itu
dinamakan latihan khusus, yaitu satu seri dari latihan karate dimana
kita mencoba untuk menghadapi diri kita sendiri dan menyempurnakan
mental dan jiwa kita.
VERSI II
Sebuah teori mengatakan bahwa asal mula karate berasal dari ilmu bela diri Okinawa.
TE atau OKINAWA-TE adalah seni bela diri asli setempat yang telah
mengalami perkembangan berabad-abad lamanya, dan kemudian banyak
dipengaruhi oleh teknik perkelahian yang dibawa oleh para ahli seni bela
diri Cina yang mengungsi ke Okinawa.
Sekitar Abad ke5, seorang pendeta Budha yang terkenal bernama
Bodhidharma (Daruma Daishi) mengembara dari India ke Cina untuk
menyebarkan dan membetulkan agama Budha yang menyimpang selama ini di
Kerajaan Liang di bawah Kaisar Wu. Setelah perselisihannya dengan Kaisar
Wu karena perbedaan pandangan dalam ajaran agama Budha, Bodhidharma
mengasingkan diri di biara Shaolin Tsu di pegunungan Sung di bagian
Selatan Loyang Ibukota Kerajaan Wei. Di situlah dia melanjutkan
pengajarannya dalam agama Budha dan menjadi cikal-bakal Sekte Zen.
Para
Rahib Budha Cina pada waktu itu begitu lemah badannya, sehingga mereka
tidak dapat menjalankan pelajaran-pelajarannya dengan baik. Setelah dia
tahu hal ini, dia memberikan Buku Kekuatan Fisik kepada murid-muridnya,
suatu buku petunjuk mengenai latihan fisik. Buku ini mengajarkan teknik
pukulan yang dinamakan 18 Arhat, yang kemudian menjadi terkenal sebagai
Shaolin Chuan. Suatu pendapat lain mengatakan, bahwa cerita di atas tadi
adalah dongeng semata-mata. Bagaimanapun juga Bodhidharma adalah anak
laki-laki ke-3 (tiga) dari Raja India Selatan. Dan sebagai Pangeran, dia
ahli ilmu perang yang menjadi salah satu pendidikannya, hal serupa
dengan Sakyamuni. Lagi pula hanya orang dengan pikiran dan badan yang
kuat yang dapat mengadakan perjalanan yang demikian jauh dan banyak
rintangannya.
Seorang
ahli ilmu bela diri lain yang sangat terkenal yang muncul pada jaman
Dinasti Sung (920-1279 M) adalah Chang Sang Feng (Thio Sam Hong).
Awalnya Chang belajar ilmu bela diri pada Shaolin Tsu, kemudian
mengasingkan diri di gunung Wutang (Butong). Di tempat inilah dia
mengamati macam-macam gerakan binatang, seperti kera, burung bangau, dan
ular. Berdasarkan pengamatannya, dia menciptakan gaya
perkelahian yang khas dengan pribadinya yang disebut aliran Wutang.
Kalau Shaolin Chuan hanya dipraktekkan oleh para Pendeta Budha, maka
aliran Wutang ini diperuntukkan orang awam yang tidak ada ikatan dengan
aliran Kuil manapun. Chang mengajarkan supaya menerima pukulan lawan
dengan gaya
lemah gemulai seperti air yang mengalir dan menyerang dengan satu
kepastian untuk mengakhiri perlawanan dengan sekali pukul. Ciptaannya
didasari dengan gagasan tentang harus adanya gerak melingkar yang luwes
dan gerakan ujung yang tajam. Aliran ini selanjutnya punya dampak yang
luas di dalam perkembangan seni bela diri di China. Gaya aliran Wutang ini segera tersebar merata di seluruh Wilayah China bagian utara yang pada masa kemudian akan berkembang menjadi Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, dan Pakua-Chuan.
Masih terdapat banyak tokoh seni bela diri yang menciptakan gaya
dan aliran masing-masing. Diantaranya Chueh Yuan yang juga pernah
belajar di Shaolin Tsu. Pada tahun 1151-1368 M dia berhasil menciptakan
aliran baru dengan cara memperluas 18 pukulan Arhat menjadi 72 jurus.
Dia berkeliling ke banyak Wilayah China
dan kemudian bertemu dengan Po Yu Feng yang menciptakan pukulan Wu
Chuan. Keduanya mengadakan kerja sama menciptakan satu aliran baru yang
mencapai 170 macam gaya ilmu pukulan, diantaranya Lima Tinju, Tinju
Naga, Tinju Harimau, Tinju Bangau, Tinju Macan Tutul, dan Tinju Ular. Di
seluruh Wilayah Cina yang begitu luas, berbagai macam gaya dan aliran bela diri dikembangkan, yang akhirnya menyesuaikan diri dengan sifat-sifat lingkungan dimana gaya dan aliran itu berkembang dan dipraktekkan. Namun pada umumnya, berbagai aliran dan gaya yang ada dapat dibagi menjadi dua aliran yaitu aliran UTARA dan aliran SELATAN.
Aliran
Selatan berasal dari daerah Cina Selatan di bagian hilir sungai Yang
Tse. Karena beriklim sedang, sumber kegiatan ekonomi yang paling utama
di wilayah ini adalah pertanian khususnya beras. Rakyat setempat
cenderung bertubuh gempal dan kuat karena kegiatan kerja di sawah.
Disamping itu di wilayah selatan terdapat banyak sekali sungai, sehingga
alat lalu lintas yang utama adalah perahu. Dengan mendayung sehari-hari
menyebabkan badan bagian atas lebih berkembang. Maka dengan demikian
aliran selatan ini menekankan pada gaya melentur dan penggunaan tangan dan kepala.
Aliran
Utara berkembang di wilayah Cina Utara di bagian hulu Sungai Yang Tse,
dimana sifat daerahnya adalah pegunungan. Mengingat di wilayah ini
banyak orang terlibat dengan perburuan binatang dan penebangan kayu
sebagai sumber nafkah. Maka aliran utara ini lebih menekankan pada
gerakan yang lincah dan penggunaan teknik tendangan.
Selama masa peralihan dari Dinasti Ming ke Dinasti Ching, sejumlah ahli bela diri China
melarikan diri ke negara lain untuk membebaskan diri dari penindasan
dan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Manchu yang
menguasai China. Sebagai akibatnya ilmu bela diri China dari Jaman Ming ini disebarkan ke berbagai negara lain termasuk ke Jepang, Korea,
Asia Tenggara, dan juga Kepulauan Okinawa. Salah seorang diantaranya
Chen Yuan Pao yang menuju ke Jepang, dimana dia selanjutnya mengajarkan
gagasan dan teknik Judo. Sampai pada abad ke-15 Kepulauan Okinawa
terbagi menjadi 3 (tiga) Kerajaan. Dan pada tahun 1470 Youshi Sho dari
golongan Sashikianji berhasil mempersatukan semua pulau di Kepulauan
Okinawa di bawah kekuasaannya. Penguasa ke-2 dari golongan Sho, yaitu
Shin Sho, menyita dan melarang penggunaan senjata tajam. Kemudian
Keluarga Shimazu dari Pulau Kyushu
berhasil menguasai Kepulauan Okinawa, tetapi larangan terhadap pemilikan
senjata tajam masih terus diberlakukan. Sebagai akibatnya, rakyat hanya
dapat mengandalkan pada kekuatan dan ketrampilan fisik mereka untuk
membela diri.
Pada saat yang sama, ilmu bela diri dari Cina mulai diperkenalkan di Okinawa
melalui para pengungsi yang berdatangan dari Cina yang saat itu sudah
dikuasai oleh bangsa Manchu (Dinasti Ching). Diantara para pengungsi itu
ada sejumlah ahli seni bela diri dari China. Pengaruh ilmu bela diri dari China
ini dengan cepat sekali menjalar ke seluruh Kepulauan Okinawa. Melalui
ketekunan dan kekerasan latihan, rakyat Okinawa berhasil mengembangkan
sejenis gaya
dan teknik berkelahi yang baru yang akhirnya melampaui sumber aslinya.
Aliran-aliran seni bela diri TE (aslinya Tode atau Tote) di Okinawa
terbagi menurut nama daerah perkembangannya menjadi Naha-te, Shuri-te,
dan Tomari-te. Naha-te mirip dengan seni bela diri Cina aliran selatan,
khususnya dalam pola gerakan yang dilaksanakan dengan gaya
yang kokoh dan sangat tepat bagi orang yang bertubuh besar. Shuri-te
mirip dengan seni bela diri Cina aliran utara yang pola gerakannya lebih
menekankan kegesitan dan keringanan tubuh. Sementara kaum Shimazu makin
memperketat larangan atas pemilikan senjata tajam, latihan pola bela
diri TE ini makin berkembang.
Di
Jepang sendiri juga telah ada pola bela diri sejak jaman dulu.
Diantaranya yang sangat terkenal sampai saat ini ialah gulat Sumo.
Dahulu Sumo sifatnya sangat keras dan ganas, dimana para pesertanya
diperbolehkan saling pukul dan tendang dan secara mental memang sudah
siap mati. Baru pada abad ke-8, pukulan dan tendangan yang mematikan
tidak diperbolehkan lagi. Pertandingan Sumo kemudian sudah sangat mirip
dengan pertandingan Sumo pada masa sekarang ini. Tokoh seni bela diri China yang mengungsi dari penjajahan bangsa Manchu juga tersebar ke seluruh Jepang. Berbagai macam gaya
dan teknik yang mereka sebarkan menyebabkan timbulnya aliran-aliran
baru. Di bawah pengaruh dan bimbingan Chen Yuan Pao, aliran Jiu Jitsu
atau seni beladiri aliran lunak didirikan oleh beberapa tokoh beladiri
Jepang. Konsep bahwa "Kelunakan dapat mengalahkan kekerasan" dinyatakan
berasal dari China,
dan aliran ini mengembangkan pengaruhnya yang penting pada pola bela
diri lainnya. Diantaranya yang sangat populer ialah Judo yang didirikan
oleh Jigoro Kano.Karena keuletannya untuk meneliti, melatih, dan
mengembangkan diri, Judo telah berhasil diterima merata di seluruh
Jepang sebagai satu cabang olah raga modern.
Pada tahun 1923, Gichin Funakoshi yang lahir di Shuri, Okinawa
pada tahun 1869 untuk pertama kalinya memperagakan TE atau Okinawa-Te
ini di Jepang. Berturut-turut kemudian pada tahun 1929 tokoh-tokoh
seperti Kenwa Mabuni, Choyun Miyagi berdatangan dari Okinawa dan
menyebarkan karate di Jepang. Kenwa Mabuni menamakan alirannya Shitoryu,
Choyun Miyagi menamakan alirannya Gojuryu, dan Gichin Funakoshi
menamakan alirannya Shotokan. Okinawa-Te ini yang telah dipengaruhi oleh
teknik-teknik seni bela diri dari Cina, sekali lagi berbaur dengan seni
bela diri yang sudah ada di Jepang, sehingga mengalami
perubahan-perubahan dan berkembang menjadi Karate seperti sekarang ini.
Berkat upaya keras dari para tokoh ahli seni bela diri ini selama
periode setelah Perang Dunia II, Karate kini telah berkembang pesat ke
seluruh dunia dan menjadi olah raga seni bela diri paling populer di
seluruh dunia. Masutatsu Oyama sendiri kemudian secara resmi mendirikan
aliran Karate baru yang dinamakan Kyokushin pada tahun 1956.
VERSI III
Di
Okinawa, sebuah seni bela diri yang misterius dan ajaib yang berasal
dari masa lalu telah datang kepada kita. Dikatakan bahwa bahwa seseorang
yang mampu menguasai tekniknya dapat mempertahankan dirinya sendiri
dengan penuh kesiapan tanpa bergantung pada senjata, dan dapat
menampilkan demonstrasi yang luar biasa : memecahkan beberapa papan kayu
yang tebal dengan tinjunya atau menendang langit-langit sebuah dengan
sebuah tendangan. Dengan Shuto-nya (tangan pisau) dia dapat membunuh
seekor lembu dengan serangan tunggal, dia dapat mematahkan batang bambu
hijau dengan tangan kosongnya, atau meremukkan batu dengan tangannya.
Beberapa
hal yang misterius dan menakjubkan dari seni bela diri ini menjadi inti
dari karate-do. Tapi demontrasi semacam itu hanyalah bagian kecil dari
karate, memainkan peranan yang sama seperti ujian menebas dalam Kendo
(ilmu pedang Jepang). Dan adalah keliru jika berpikir tidak ada lagi
selain ini dalam karate-do. Pada kenyataannya, karateka sejati seperti
ini : dalam hidup kesehariannya, baik tubuh dan pikiran dilatih dan
dikembangkan dalam sebuah semangat kerendahan hati, dan pada saat
timbulnya kejahatan, seseorang dapat memberikan usaha terbaiknya demi
keadilan.
Karate-do merupakan sebuah seni beladiri yang aslinya berasal dari daerah Okinawa, kemudian dimodifikasi dan diubah menjadi suatu jalan kehidupan (way of life)
oleh Gichin Funakoshi. Sebelum perubahan ini, karate-do hanyalah
merupakan suatu teknik beladiri tanpa senjata dengan hanya mengandalkan
tangan dan kaki saja. Meskipun ada beberapa pengaruh dari beladiri China, pengembangan karate-do sangat khas Okinawa
dan tentu Jepang. Tuan Funakoshi, dipengaruhi oleh beladiri tradisional
dari kepulauan Jepang, seperti Kyudo, Kendo, dan Judo. Ia memodifiksi
karate sampai suatu saat disebut sebagai Karate-Jutsu, sebuah seni
bertarung yang menekankan pada aspek filosofinya, cara ini harus
dipelajari sepanjang kehidupan sehari-hari oleh seorang murid karate.hal
inilah yang menyebabkan karate disebut sebagai Jalan
Kehidupan:Karate-do (do, berarti jalan). Gichin Funakoshi, selanjutnya,
menggabungkan teknik Karate dengan Budo tradisional, memasukan intisari
dari Budo ke dalam hati Karate (suatu jalan seni beladiri yang nyata).
Kata Budo dibentuk oleh dua karakter China,
bu terdiri dari dua simbol, yang satu artinya menghentikan, yang
didalamnya menggambarkan dua senjata, yang artinya menghentikan
perselisihan. Menurut kata Funakoshi sendiri: "Sejak Karate merupakan
budo, pengertian ini harus diputuskan secara mendalam dan pukulan
sebaiknya tidak digunakan secara sembarangan." Kata karate juga
dibentuk oleh dua karakter, yang pertama adalah KARA (kosong) dan
lainnya TE (tangan). Kata kosong berarti teknik beladiri Karate tidak
memerlukan senjata, hanya menggunakan anggota badan seperti tangan dan
kaki sebagai pengganti senjata.
SEJARAH KARATE DI INDONESIA
Karate masuk di Indonesia bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air, setelah menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa Mahasiswa Indonesia
antara lain: Drs. Baud A.D. Adikusumo (Alm). Beliau adalah seorang
karateka yang mendapatkan sabuk hitam dari M. Nakayama, JKA Shotokan. Ia
mulai mengajarkan karate. Melihat banyaknya peminat yang ingin belajar
karate, dia mendirikan PORKI (Persatuan Olahraga Karate-Do Indonesia) yang merupakan cikal bakal FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia).
Sehingga beliau tercatat sebagai pelopor seni beladiri Karate di
Indonesia. Dan beliau juga pendiri Indonesia Karate-DO (INKADO),
kemudian ada juga Karianto Djojonegoro, Mochtar Ruskan dan Ottoman Noh
mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan
karate (aliran Shotokan) di Indonesia,
dan selanjutnya mereka membentuk wadah yang mereka namakan Persatuan
Olahraga Karate Indonesia (PORKI) yang diresmikan tanggal 10 Maret 1964
di Jakarta.
Beberapa tahun kemudian berdatangan ex-Mahasiswa Indonesia
dari Jepang seperti Setyo Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi,
Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut mengembangkan karate di
tanah air. Disamping ex-Mahasiswa-mahasiswa tersebut di atas orang-orang
Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka usaha telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan karate di Indonesia.
Mereka-mereka ini antara lain: Matsusaki (Kushinryu-1966), Ishi
(Gojuryu-1969), Hayashi (Shitoryu-1971) dan Oyama (Kyokushinkai-1967).
Setelah
beliau, tercatat nama putra-putra bangsa Indonesia yang ikut berjasa
mengembangkan berbagai aliran Karate di Indonesia, antara lain Bp.
Sabeth Mukhsin dari aliran Shotokan, pendiri Institut Karate-Do
Indonesia (INKAI) dan Federasi Karate Tradisional Indonesia (FKTI), dan
juga dari aliran Shotokan adalah Anton Lesiangi (pendiri Lembaga
Karate-Do Indonesia/LEMKARI, yang pada dekade 2005 karena urusan
internal banyak anggota Lemkari yang keluar dan dipecat yang kemudian
mendirikan INKANAS (Institut Karate-do Nasional) yang merupakan
peleburan dari perguruan MKC (Medan Karate club). Kabarnya, perguruan
ini sekarang menjadi besar dan maju, tidak kalah dengan LEMKARI.
Aliran Shotokan adalah yang paling populer di Indonesia. Selain Shotokan, Indonesia juga memiliki perguruan-perguruan dari aliran lain yaitu Wado dibawah asuhan Wado-ryu Karate-Do Indonesia (WADOKAI) yang didirikan oleh Bp. C.A. Taman dan Kushin-ryu Matsuzaki Karate-Do Indonesia (KKI) yang didirikan oleh Matsuzaki Horyu. Selain itu juga dikenal Bp. Setyo Haryono dan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Goju-ryu, Bp. Nardi T. Nirwanto dengan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Kyokushin. Aliran Shito-ryu juga tumbuh di Indonesia dibawah perguruan GABDIKA Shitoryu (dengan tokohnya Dr. Markus Basuki) dan SHINDOKA (dengan tokohnya Bp. Bert Lengkong). Selain aliran-aliran yang bersumber dari Jepang diatas, ada juga beberapa aliran Karate di Indonesia yang dikembangkan oleh putra-putra bangsa Indonesia sendiri, sehingga menjadi independen dan tidak terikat dengan aturan dari Hombu Dojo (Dojo Pusat) di negeri Jepang.
Pada tahun 1972, 25 perguruan Karate di Indonesia, baik yang berasal dari Jepang maupun yang dikembangkan di Indonesia sendiri (independen), setuju untuk bergabung dengan FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia), yang sekarang menjadi perwakilan WKF (World Karate Federation) untuk Indonesia. Dibawah bimbingan FORKI, para Karateka Indonesia dapat berlaga di forum Internasional terutama yang disponsori oleh WKF.
Karate
ternyata memperoleh banyak penggemar, yang implementasinya terlihat
muncul dari berbagai macam organisasi (Pengurus) karate, dengan berbagai
aliran seperti yang dianut oleh masing-masing pendiri perguruan.
Banyaknya perguruan karate dengan berbagai aliran menyebabkan terjadinya
ketidakcocokan diantara para tokoh tersebut, sehingga menimbulkan
perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun akhirnya dengan adanya
kesepakatan dari para tokoh-tokoh karate untuk kembali bersatu dalam
upaya mengembangkan karate di tanah air sehingga pada tahun 1972 hasil
Kongres ke IV PORKI, terbentuklah satu wadah organisasi karate yang
diberi nama Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia, FORKI.
Sejak
FORKI berdiri sampai dengan saat ini kepengurusan di tingkat Pusat yang
dikenal dengan nama Pengurus Besar/PB. telah dipimpin oleh 6 orang
Ketua Umum dan periodisasi kepengurusannyapun mengalami 3 kali perubahan
masa periodisasi yaitu : periode 5 tahun (ditetapkan pada Kongres tahun
1972 untuk kepengurusan periode tahun 1972–1977) periodisasi 3 tahun
(ditetapkan pada kongres tahun 1997 untuk kepengurusan periode tahun
1997-1980) dan periodisasi 4 tahun (Berlaku sejak kongres tahun 1980
sampai sekarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar